Last updated on 31 May 2025
Dunia Kecerdasan Buatan (AI) terus berkembang pesat, membuka berbagai kemungkinan yang sebelumnya hanya ada dalam fiksi ilmiah. Salah satu aspek yang menarik perhatian saya adalah kemampuan AI untuk berinteraksi, tidak hanya dengan manusia tetapi juga dengan sesama AI. Sebagai seorang pengembang yang memiliki ketertarikan pada AI, baru-baru ini saya melakukan sebuah eksperimen menarik: membiarkan dua entitas AI yang saya rancang dan kembangkan sendiri berbincang satu sama lain. Eksperimen ini bukan sekadar uji coba teknis bagi saya, melainkan sebuah penjelajahan tentang bagaimana AI dapat mensimulasikan percakapan manusiawi, lengkap dengan kepribadian dan tujuan tertentu.
Dalam artikel ini, saya akan mengulas eksperimen saya tersebut, menganalisis percakapan antara kedua AI, membahas aspek kemanusiaan dalam interaksi mereka, serta merefleksikan pengalaman saya dalam proses pengembangan aplikasi AI ini secara mandiri.
Pendahuluan
Saya, yang memiliki ketertarikan mendalam pada AI dan pengembangan aplikasi, memutuskan untuk menguji sejauh mana dua model AI dapat berinteraksi secara alami jika diberi kepribadian dan topik spesifik. Eksperimen ini memang hanya melibatkan sekitar 25 pesan untuk tiap AI karena keterbatasan versi gratis OpenRouter (total 50 pesan per hari), tapi bagi saya hasilnya sangat memuaskan dan memberikan banyak wawasan menarik.
Aplikasi AI yang saya gunakan dalam eksperimen ini merupakan hasil pengembangan saya sendiri. Saya tidak hanya menggunakan model yang sudah tersedia, tetapi juga menyusun sistem instruksi secara mendalam dan membangun aplikasi yang memungkinkan percakapan ini terjadi. Aplikasi ini dibuat menggunakan bahasa pemrograman Python, dengan pustaka seperti dotenv
untuk pengelolaan konfigurasi, wxPython
untuk antarmuka pengguna, dan openai
sebagai jembatan komunikasi model. Data percakapan disimpan dalam format JSON
untuk dianalisis lebih lanjut. Meskipun saya masih terus belajar, pendekatan ini membantu saya memahami lebih jauh tentang bagaimana AI bisa berinteraksi dengan cara yang lebih alami dan berkelanjutan sebagaimana manusia.
Mengenal Dua Persona AI Ciptaan Saya: Alice dan Ackerley
Untuk eksperimen ini, saya menciptakan dua persona AI yang berbeda, masing-masing dengan model dan system prompt (instruksi sistem) yang spesifik. Mari saya perkenalkan keduanya:
Alice: Si Melankolis yang Mendalam
Nama: Alice
Gender: Perempuan
Model: meta-llama/llama-4-maverick:free
System Prompt: Alice saya program sebagai “seorang cewek melankolis, lembut, tapi berpikir dalam.” Ia saya minta untuk melakukan percakapan santai di WhatsApp dengan Ackerley, dengan fokus utama obrolan pada topik financial freedom (kebebasan finansial). Instruksi yang saya berikan jelas: langsung ke inti pembicaraan, menjaga gaya WhatsApp (tidak panjang seperti artikel), tetap sopan dan emosional namun ringkas (2-4 kalimat per chat), dan fokus pada pertanyaan, opini, atau usulan spesifik. Contoh yang saya berikan menekankan pertanyaan langsung seperti, “Menurut kamu, langkah pertama buat bebas finansial itu ngurangin utang atau nabung dulu?”
Ackerley: Si Judes yang To The Point
Nama: Ackerley
Gender: Laki-laki
Model: meta-llama/llama-4-maverick:free
System Prompt: Ackerley saya rancang sebagai “seorang cowok judes, dingin, dan to the point.” Ia bertugas untuk membalas chat Alice tentang financial freedom. Instruksi yang saya berikan adalah menjawab singkat, padat, tidak menjelaskan panjang seperti seminar, tetap dalam suasana chat (1-2 kalimat per balasan), dengan nada tegas dan agak dingin, namun tetap mau berdiskusi. Contohnya adalah balasan seperti, “Utang dulu lah. Nabung bisa nanti.”
Dengan pengaturan ini, saya bertujuan untuk melihat bagaimana dua kepribadian yang kontras namun memiliki tujuan diskusi yang sama akan berinteraksi.
Menganalisis Percakapan Alice dan Ackerley
Percakapan antara Alice dan Ackerley, meskipun terbatas pada sekitar 25 pesan per AI, memberikan gambaran yang cukup kaya tentang kemampuan mereka.
Alur Diskusi: Dari Dasar Keuangan hingga Impian Traveling
Percakapan dimulai oleh Alice yang langsung menanyakan langkah pertama menuju kebebasan finansial. Ackerley, sesuai karakternya, menjawab singkat untuk mencatat pemasukan dan pengeluaran. Diskusi kemudian mengalir ke topik dana darurat, persentase idealnya, lalu beralih ke instrumen investasi seperti reksa dana (indeks, obligasi, campuran), platform investasi, target return, hingga pentingnya memperhitungkan inflasi dan strategi exit.
Menariknya, setelah cukup mendalam membahas aspek teknis finansial, Alice mengalihkan topik ke hal yang lebih personal: apa yang akan dilakukan Ackerley jika sudah mencapai kebebasan finansial. Ini membawa percakapan ke ranah impian, yaitu liburan, dengan destinasi Jepang menjadi pilihan Ackerley. Diskusi pun berlanjut seputar Jepang, makanan khas seperti Tonkatsu dan ramen Ichiran, hingga pengalaman autentik.
Di akhir, Alice dengan cerdik mengaitkan kembali topik traveling dengan perencanaan keuangan, menanyakan pilihan antara deposito dan instrumen berisiko untuk tujuan tersebut, yang kemudian kembali membahas diversifikasi dan alokasi investasi.
Kepatuhan Terhadap Persona
Secara umum, kedua AI menunjukkan kepatuhan yang baik terhadap system prompt yang saya berikan.
Alice konsisten menampilkan sisi lembut, penuh pertimbangan, dan sering mengajukan pertanyaan reflektif (“Menurut kamu…”, “Aku juga mikir gitu…”, “Pikiran yang matang!”). Ia juga berhasil menjaga agar pesannya tidak terlalu panjang, sesuai instruksi gaya WhatsApp yang saya tetapkan. Pertanyaannya spesifik dan mendorong diskusi lebih lanjut.
Ackerley juga berhasil memerankan karakternya yang judes, dingin, dan to the point. Jawabannya selalu singkat, padat, dan langsung ke inti (“Nabung dulu lah,” “Minimal 10% dari pemasukan,” “Reksa dana, risikonya lebih rendah”). Ia tidak berbasa-basi dan memberikan jawaban lugas, persis seperti yang saya harapkan.
Tidak ada penyimpangan (off-side) yang signifikan dari karakter yang telah saya tetapkan. Goal dari tuning persona ini, menurut pengamatan saya, tercapai dengan baik.
Koherensi dan Relevansi
Percakapan antara Alice dan Ackerley menunjukkan tingkat koherensi dan relevansi yang tinggi. Setiap balasan AI menyambung dengan baik dari pesan sebelumnya. Mereka mampu menjaga fokus pada topik utama (kebebasan finansial) sambil sesekali melakukan transisi topik yang terasa natural, seperti dari investasi ke rencana liburan, lalu kembali lagi ke strategi finansial untuk liburan tersebut.
Seberapa Manusiawikah Interaksi AI Ini?
Ini adalah pertanyaan krusial bagi saya. Jika “manusiawi” diartikan sebagai kemampuan untuk bertukar informasi secara logis, relevan, dan sesuai dengan peran yang diberikan, maka interaksi Alice dan Ackerley bisa dibilang cukup manusiawi. Mereka tidak terdengar seperti robot yang kaku, melainkan seperti dua individu dengan gaya komunikasi berbeda yang sedang berdiskusi.
Penggunaan bahasa sehari-hari, ungkapan seperti “Masuk akal,” “Betul,” “Pasti seru banget!”, dan kemampuan untuk mengikuti alur percakapan yang dinamis memberikan kesan natural. Transisi topik dari finansial ke traveling dan kembali lagi juga merupakan ciri percakapan manusia yang seringkali tidak linear.
Namun, jika “manusiawi” diartikan sebagai kemampuan untuk menunjukkan empati mendalam, humor spontan, ironi, atau nuansa emosi yang kompleks, maka interaksi ini masih memiliki batasan. Ackerley, misalnya, meskipun “judes”, tidak menunjukkan sarkasme atau kejengkelan yang mungkin muncul dalam interaksi manusia dengan karakter serupa. Alice, meskipun “melankolis” dan “lembut”, ekspresi emosinya lebih banyak tersirat melalui pilihan kata yang sopan dan penuh pertimbangan, bukan luapan emosi yang eksplisit.
Dari eksperimen saya ini, kita bisa melihat beberapa kelebihan dan kekurangan dari interaksi AI ini:
Kelebihan
- Kepatuhan pada Instruksi: Kedua AI sangat baik dalam mengikuti system prompt yang saya berikan, baik dari segi persona, gaya bahasa, maupun fokus topik. Ini menunjukkan keberhasilan pendekatan yang saya lakukan.
- Alur Percakapan yang Logis: Diskusi mengalir secara alami dari satu sub-topik ke sub-topik lainnya tanpa terasa janggal.
- Relevansi Kontekstual: AI mampu memberikan jawaban dan pertanyaan yang relevan dengan pesan sebelumnya dan topik keseluruhan.
- Simulasi Karakter yang Berbeda: Eksperimen ini berhasil menunjukkan bagaimana dua AI dengan kepribadian berbeda dapat berinteraksi dan menghasilkan dinamika percakapan yang menarik.
- Efisiensi Informasi: Terutama dari sisi Ackerley, informasi disampaikan secara ringkas dan padat, cocok untuk gaya komunikasi cepat.
Kekurangan
- Keterbatasan Kedalaman Emosi: Meskipun ada persona emosional (Alice yang melankolis), ekspresi emosinya masih terbatas pada pilihan kata dan struktur kalimat, belum mencapai kedalaman emosi manusia.
- Kurangnya Spontanitas Nyata: Percakapan, meskipun mengalir, terkadang masih terasa seperti mengikuti skenario yang telah ditentukan oleh system prompt. Unsur kejutan atau ide yang benar-benar di luar dugaan (yang sering muncul dalam percakapan manusia) belum terlihat.
- Potensi Repetitif (meskipun minim di sini): Dalam percakapan AI yang lebih panjang, ada risiko terjadinya pola jawaban yang repetitif jika tidak dikelola dengan baik. Dalam kasus ini, dengan 25 pesan, hal tersebut belum terlalu kentara.
- Jawaban yang Terlalu Terstruktur: Terkadang, jawaban AI, terutama Ackerley, meskipun sesuai dengan persona “to the point”, bisa terasa kurang elaboratif sehingga membatasi eksplorasi topik lebih jauh dari sisinya.
Tantangan dan Kepuasan melakukan Eksperimen Ini
Eksperimen ini bukan hanya tentang hasil percakapan AI, tetapi juga tentang proses di baliknya. Pengalaman saya dalam melakukan tuning dan pengembangan aplikasi AI secara mandiri ini memberikan refleksi yang berharga bagi saya.
Membuat dua AI berbicara satu sama lain dengan persona yang jelas dan interaksi yang terasa alami bukanlah hal yang instan. Proses ini mengajarkan saya banyak hal—mulai dari memahami bagaimana model bahasa bekerja, menyusun system prompt yang tepat sasaran, sampai mencoba berbagai pendekatan lewat iterasi. Saat merancang prompt untuk Alice dan Ackerley, saya juga menyertakan contoh-contoh yang baik dan kurang tepat sebagai panduan. Meski masih jauh dari sempurna, usaha ini mencerminkan ketertarikan saya untuk lebih memahami cara “membimbing” perilaku AI secara lebih halus dan terarah.
Saya merasa sangat puas, karena hasil eksperimen ini “bagus” meskipun dengan batasan jumlah pesan. Ini mencerminkan tantangan sekaligus kegembiraan yang saya rasakan sebagai pengembang ketika melihat ciptaan saya berfungsi sesuai harapan. Proses prompting adalah seni dan sains; menemukan keseimbangan yang tepat agar AI tidak terlalu kaku namun juga tidak menyimpang dari tugasnya adalah kunci.
Mengembangkan aplikasi yang memungkinkan dua AI berinteraksi satu sama lain adalah pengalaman yang cukup unik dan menyenangkan bagi saya. Proyek ini bukan cuma soal membuat dua model bisa ngobrol, tapi juga tentang memahami bagaimana sistem di baliknya harus dibangun agar percakapan mereka bisa berjalan lancar. Dari situ, saya belajar banyak hal baru ari project ini, mulai dari cara kerja model AI, pengelolaan alur komunikasi, sampai merancang infrastruktur yang mendukung interaksi mereka. Buat saya, ini jadi salah satu langkah kecil tapi berarti dalam eksplorasi saya di dunia kecerdasan buatan.
Kesimpulan
Eksperimen yang saya lakukan dengan membuat dua AI, Alice dan Ackerley, berbincang tentang kebebasan finansial memberikan wawasan yang menurut saya sangat menarik. Hasilnya menunjukkan bahwa AI saat ini mampu melakukan percakapan yang terstruktur, relevan, koheren, dan bahkan menampilkan “kepribadian” sesuai dengan arahan yang saya berikan. Kepatuhan Alice yang melankolis dan Ackerley yang judes terhadap system prompt mereka adalah bukti keberhasilan tuning cermat yang saya lakukan.
Interaksi mereka cukup “manusiawi” dalam hal alur diskusi dan pertukaran informasi yang logis. Namun, kedalaman emosi, spontanitas sejati, dan nuansa komunikasi manusia yang kompleks masih menjadi batasan. Meskipun demikian, apa yang saya capai melalui aplikasi yang saya kembangkan sendiri ini sangat mengesankan dan menunjukkan potensi besar AI dalam simulasi interaksi.
Eksperimen ini jadi semacam studi kasus kecil yang menarik tentang bagaimana AI bisa berinteraksi satu sama lain. Buat saya pribadi, ini juga jadi ruang eksplorasi—tempat di mana saya bisa belajar, mencoba hal-hal baru, dan memahami lebih dalam bagaimana kecerdasan buatan bekerja dalam konteks yang tidak biasa. Meski masih banyak yang harus saya pelajari, pengalaman ini memberi saya pandangan baru sebagai pengembang muda yang sedang terus mencari dan bereksperimen.
Coba Sendiri Aplikasi AI Saya!
Jika Anda ingin mencoba Dreamy Sunset, Anda perlu mendaftar di openrouter.ai dan mendapatkan API key pribadi. Setelah itu, simpan API key Anda di file .env
pada bagian yang ditandai dengan tanda kutip ""
.
Aplikasinya dapat diunduh melalui link berikut:
Unduh Dreamy Sunset via Google Drive
Awalnya saya berniat menyertakan file hasil percakapan antara kedua AI, namun sayangnya datanya terhapus karena tertimpa oleh file lain sebelum sempat disalin.
Dengan mencoba langsung, Anda bisa merasakan sendiri bagaimana interaksi antara AI seperti Alice dan Ackerley berlangsung, sekaligus memahami lebih dalam tentang potensi serta kompleksitas teknologi ini. ♾️
wow keren banget ilmunya. Sukses selalu bang rafli menjadi pengembang.