Editor: Rino Jefriansyah, S. S.
Dalam kurun awal tahun dua ribu dua puluh, Indonesia melepas pergi dua maestro yang sangat melegenda. Ketokohan dan kiprahnya dalam dunia seni, tidak lagi diragukan. Sangat berkesan di hati dan membekas jejak langkah yang telah keduanya torehkan.
Siapa lagi kalau bukan Asyraf Sinklar dan Didi Kempot. Dua orang yang sangat berbeda apabila saya simak latar belakang dan proses dalam meniti tangga kejayaan karir.
Jika Asyraf mengawali karirnya di Indonesia melalui film The Real Pocong, beda lagi Didi Kempot. Beliau mengawali karir dari pengamen jalanan. Rekaman pertama kalinya pada tahun 1998, membawakan Stasion Balapan. Tidak menunggu lama, lagu itu pun booming.
Walau keduanya berkilau, berkontribusi dalam ranah yang sangat jauh berbeda, namun saya meyakini bahwa ada titik temu yang mempertautkan keduanya dalam kesamaan. Betul, seni, tapi masih belum lengkap jawaban tersebut. Memerlukan proses panjang, jika hendak sehabis-habisnya mempertemukan keduanya dalam titik tunggal.
Asyraf, suri tauladan yang tidak akan pernah mati. Begitu yang saya tangkap, saat menyimak video di channel-nya Merry Liana. Apa yang telah dibagikannya tak lekang oleh ruang dan waktu.
Dia tidak pernah sedikit pun sombong sewaktu naik daun. Justru memilih job-job seperti tokoh viguran dan iklan, di tengah derasnya tawaran para produsen tanah air yang tentulah mau menempatkan dirinya sebagai tokoh utama dalam skenario. Sangat rendah hati memang, terbukti kurangaktifnya Asyraf dalam berbagai liputan media.
Sangat banyak hal yang diwariskannya untuk saya. Menjadi renungan berharga, bahwa seterkenal apapun seseorang, bukan berarti menjadi alasan untuk mengabaikan hal-hal sepele.
Sementara Didi Kempot, sosok yang sederhana. Tidak turut serta mengalir bersama budaya musik global yang semakin marak di dalam negeri. Tetap konsisten melestarikan musik tradisi, mengabadikannya dalam berbagai rekaman yang tidak kalah luar biasanya dengan Black Pink dkk.
Dimasukannya nilai-nilai hidup, berbagai warna asmara di antara pria dan wanita, hikmah religius yang tetap relevan hingga kini, terkemas dalam alunan harmoni musik campursari. Bagi Sobat Ambiar, para pecintanya, Lord Didi adalah sosok tak tergantikan, dialah nyanyian yang akan terus melegenda sampai kapan pun. Bagi saya pribadi, dia juga pejuang cinta yang tak kenal lelah, selalu hidup dalam lirik-liriknya. Sewu Kuto, Stasion Balapan, Banyu Langit, Tatu, Ojo Mudik, dan beraneka karyanya, bukan sekedar musik. Namun puisi yang syarat pesan kehidupan, pantas untuk dimaknai sebagai bentuk pelestarian budaya leluhur yang adiluhung, yang tentunya selalu konsisten dan berkomitmen dalam nilai-nilai kebajikan.
Namun roda kehidupan tidak pernah memilih. Mereka berpulang satu persatu, meninggalkan hirup-pikup buana yang menyesakan, damai bersama-Nya. Pergi yang tidak pernah untuk kembali.
Tinggalah saya dan kamu, yang hanya kuasa menikmati apa yang telah ditinggalkan. Satu hal saya yakini, keduanya ada dalam satu simpul semesta, bahwa apa yang telah mereka berikan, adalah bentuk tulusnya nurani seorang pengabdi kebajikan, jiwa seniman sejati, dan puisi hidup pada zamannya. Indah bermakna bagi para penyelam samudra cahaya ilahiah yang fitrah.
Kab. Bantul, DIY, Sabtu, 9 Mei 2020