Editor: Rino Jefriansyah, S. S.
Hello Infi Friends! Alhamdulillah, bahagia banget saya bisa hadir dalam tulisan ini. Pada kesempatan kali ini, saya ingin sedikit berbagi, sebuah cerpen yang saya tulis pada momentum tahun baru. Semoga berkenan dan kita bisa memetik pelajaran dari cerita yang sederhana ini!
Rumahku, Abadilah Kenanganku
Akbar AP
Suara keras menyentakanku dari mimpi. Setengah sadar, kulihat jam. Masih pukul dua pagi. Pasti itu lagi. Apa setiap hari harus begini?
Itulah pertanyaan yang sulit menemukan jawabannya. Aku menguap enggan. Pelan beranjak dari kasur, hendak keluar menuju kamar mandi guna mencuci muka. Hanya perlu lima menit.
Dari dalam kamar mandi, jelas terdengar kata-kata papa yang keras pada mama. “Ini urusanku, goblok! Kau cukuplah tahu urusan rumah! Buat apa perlu perkara suamimu?” Aku menggigil, lemas rasanya tubuh ini oleh pedasnya lidah papa.
Sungguh, tidak ada yang lebih keji selain daripada ucapan yang rutin tiap hari itu.
“Tuhan, sampai kapan harus seperti ini?” Jerit hatiku, seakan bersepakat dengan lunglainya tubuh ketika berjalan keluar kamar mandi.
Baru saja berniat untuk ke kamar, sebuah gelas melayang ke arahku. Reflek menghindar ke samping, hingga gelas itu berkeping usai membentur dinding.
Nanar pandanganku menatapnya. Lalu beralih pada papa dan mama yang sontak terdiam.
“Andita lelah, pa! Setiap hari, papa menyakiti mama. Sebetulnya ada apa sih dengan papa? Apa papa tidak sayang lagi dengan mama?” Cecarku bertanya pada lelaki paruh baya itu.
Dia terkejut. Wajahnya memerah karena amarah telah kembali.
“Ini urusan orang dewasa, Dita! Kamu tidak layak tahu!”
Cepat kumemotong kalimatnya, “Iya, Dita memang hanya tahu belajar kok, pa. Biar Dita pintar, biar Dita tidak sebodoh mama. Tapi ingat, pa!” Sebelum habis kalimatku, papa maju dan mencengkeram kerah piamaku. Tidak berhasil, karena telah menyadari sebelumnya, betapa papa sudah bukan lagi pelindung dalam penglihatanku.
Lelaki itu menggeram, berusaha lagi buat mencengkeramku. Jujur, tidak ada sama sekali rasa takut dalam hati. Aku hanya tidak ingin celaka secara konyol.
Bergegas aku berlari ke kamar. Meninggalkan papa yang semakin buas melantiaskan amarahnya di bawah sana. Entah bagaimana nasib mama. Lagi-lagi aku hanya bisa menangis di atas bantal, merutuki kelemahan diri.
Tanpa sadar, aku terlelap. Ketika bangun, waktu sudah menunjukan pukul setengah lima. Bergetar kaki melangkah pelan. Menuju kamar mandi untuk berwudhu.
Selesai wudhu dan sembahyang dengan sungguh-sungguh, aku kembali terduduk di pinggir pembaringan. Sebentar melemparkan pandangan ke sekeliling kamar. Masih rapi tertata buku-buku di atas meja belajar, lemari, kipas angin, dan meja serba guna. Maka haruskah kutinggalkan semua ini demi tenteramnya hati?
Aku mendesah pelan, seraya beranjak membuka jendela. Berharap akan ada angin ketenangan menyejukan bara yang menggelisahkan hati ini.
Kutatap semburat mentari di ufuk timur. Masih lembut bersahabat dengan syaraf mata. Semua ini, sedikitnya kembali memulihkan senyumku, meski tidak selepas waktu lalu.
Dari sinar matahari yang tengah mendaki langit, pandanganku pun beralih ke arah jalanan depan rumah yang masih sepi dari kesibukan si besi beroda. Kenangan demi kenangan, mulai menghanyutkanku ke dalam jauhnya lamunan.
Indah sekali masa kecilku. Masa yang menjadi sebuah kerinduan, manakala usia di tengah perjalanan, menuju senja bagi siapa saja. Seperti kenanganku setiap pagi keliling lingkungan rumah bersama papa dengan sepeda. Kira-kira satu jam sudah selesai. Kemudian langsung sarapan di ruang makan, menyantap lezatnya masakan mama.
Hal itu, rutin tiap akhir pekan, masa-masa rehat bagi papa dari setumpuk pekerjaannya di kantor. Manis sekali terasa. Indah jika dikenang oleh hati remajaku yang rapuh kian detik ini.
Sebetulnya masih banyak yang bisa kukenang dan menjadi hal inspiratif di coretanku ini. Namun, paling mengakar adalah kenangan tiap pagi itu. Ah, pahitnya kenyataan. Semua itu tidak lagi setelah usia memijak tahun kedua belas. Sikap papa mulai berubah. Menjauh dan menjelma tidak ubahnya orang asing.
Selalu pulang larut dengan segudang permasalahan yang tidak dipahami rumah. Lebih baik jika diam. Lah ini? Papa malah mengungkit, membesarkan, dan menyalahkan rumah dengan semena-mena.
Maka, aku hanya bisa menangis di pangkuan mama dengan kesakitan. Sebab lebam di sekujur tubuh. Seiring hari, aku mulai mencoba mencerna semua kepedihan ini. Sehingga tanpa sadar, berubahlah sudah segala-galanya dalam diri ini.
Aku nanar menatap pusara merah yang baru diuruk. Terpancang misan, berhias nama mamaku. Pelan bibir bergetar mengeja. “Ayu Sulistiani. Mamaku sayang, semoga damai di haribaan Tuhan. Amin.”
Menitik setetes air mata, meliuk di pipi, dan menjatuhi tanah pusara baru ini. Sepuluh menit ke depan, masih kumematung. Seperti arca ratusan tahun yang bisu menyaksikan lelakon sandiwara manusia di dunia.
Seraya teliti berpikir. Devinisi rumah bagi hatiku sekarang. Setelah perginya mama dan terhukumnya papa di penjara.
Rumah, bagaimana jua pahit kenangannya, tetap mendahagakan hati dalam panjangnya kerinduan, sewaktu jauh. Rumah, menjadi tempat ternyaman, setidaknya bagiku. Menawarkan sebuah perlindungan yang akrab, dari kebuasan cuaca.
Selesai.
Bantul, 31 Desember 2020.