Suatu sore yang sejuk, angin dingin musim gugur pun merasuk, gan menggigilkan belulang tubuh. Tampak berdiri seorang pemuda di atas gerbang kota Elang, sebuah benteng yang kegagahannya sungguh tegak memberi kesan garang. Namun untuk saat ini, suasana benteng tersebut tengah sepi, tiada seorangpun pengawal yang menjaga. Tetiba datang seorang gadis sebayanya dari arah belakang.
“Adik Long! Sudahkah hilang letihmu?,” tanyanya pelan.
“Eh, Kak Hwa! Aku sudah merasa segar sore hari ini. Tidurku cukup nyenyak. Teman-teman sebarisan kita juga demikian, kan?,” ucap Xiau Long santai.
“Otak kamu terbentur apa, sih?,”
“Kok gitu, Kak? Tega…,”
“Dengar dulu omonganku! Sepertinya semenjak kematian Lee Sian, engkau senang sekali memotong bicaraku, ya?,” geram si gadis, seraya mendekati Xiau Long.
“Maaf, kak. Aku… Aku…,” si gadis menghela napas, membuang kekesalan, lalu berkata serius, “apa tidak terlintas dalam benakmu, kalau mereka itu letih karena telah berjuang semalaman mengusir kawanan roh siluman dari kota ini? Jarak perbedaan mereka dengan kita, tentu mempengaruhi kecepatan pemulihan juga. Masa, pelajaran sesepele ini engkau lupa? Padahal, engkau termasuk petua muda Partai Thian Shan yang kata dunia, cukup diperhitungkan!”
Xiau Long terdiam. Berpikir sejenak dan tersenyum meringis. “Astaga, aku sampai lupa. Aku tidak dapat membayangkan, tanggapan guru apabila mendengar kabar ini!” kata si pemuda berjubah hijau, sambil menepuk jidad.
Si gadis yang bernama Jian Hwa pun menggeleng lemah, memperhatikan sikap adik seperguruan sekaligus kekasihnya yang bisa-bisanya bersikap konyol. “Ini pentingnya menilai diri! Jangan lantas congkak ketika engkau berada pada kedudukan yang tenar dan pantas menerima hormat! Sepertinya engkau juga lupa, bukan? Pada hikmah padi yang pernah tamu Jawa guru kita bicarakan?”
“Maafkan, aku,” Si pemuda menunduk, menekuni ujung sepatu bajanya, “selama bertahun-tahun, terlalu banyak puja-puji yang aku terima, hingga sedikit demi sedikit mengikis kebjaksanaan diriku.”
Jian Hwa tersenyum tipis. Sudah mereda rasa sebalnya. “Wajar! Artinya tepat ujaran guru. Kemilau giok kemala akan membutakan seorang seniman bela diri. Di sinilah pentingnya memahami hikmah padi. Bahwa semakin tinggi padi berdiri, semakin merunduklah dia. Merunduk bermakna selalu menilai apa-apa yang menjadi kekurangan diri. Padi juga memahami, bahwa makin tinggi dia tumbuh, makin banyak juga menerima masalah. Seperti invasi kaum burung, angin badai sejumlah koloni hama tikus, dan lain sebagainya.”
Xiau Long berusaha mencerna ujaran yang disampaikan Jian Hwa dengan sabar. Pada akhirnya, dia mengerti dan mampu menemukan kekurangan dirinya, lalu secara bertahap menerima dengan damai. Bertambah rasa terima kasih dan haru hatinya, saat menyadari kalau Jian Hwa masih setia menunggu sambil duduk di pinggiran benteng.
“Sudah selesai?,” Xiau Long hanya mengangguk.
Kemudian dia duduk di sebelah kanan Jian Hwa. “Meskipun aku harus memakan tiga penanakan nasi untuk mencerna dan meyakininya kembali sebagai suluh jalan yang harus kuingat. Serta baru kudapatkan satu pengertian, bahwa dalam hikmah padi ini, selaras dengan ajaran Tao dan agama dari barat itu. Bahwa dengan memohon pertolongan dari-Nya Yang Mahapemurah akan menempatkan kita pada jalan yang lurus dan seimbang. Tanpa menentang hukum alam. Justru dengan alam, aku menemukan banyak sekali keindahan yang menyimpan kebijaksanaan.”
Jian Hwa tidak menyahuti apa-apa. Dia cukup mampu memahami, bahwa Xiau Long telah menemukan pencerahan dalam pandangan hidupnya. Xiau Long menatap langit yang temaram sekaligus meresapi syukur dan cinta yang begitu mendalam. Mengaliri jiwanya dengan sebentuk kedamaian yang menyegarkan.
Bantul, 4 Juni 2022