Editor: Rino Jefriansyah, S. S.
Hello Infi Friends!Apa yang ingin kalian kontribusikan, guna mengisi Hari Guru Nasional pada 25 November dan Hari Disabilitas Internasional pada 03 Desember tahun ini? Tentunya sangat banyak.
Nah, kali ini saya sedikit memberanikan diri, atau boleh juga dibilang nekad, datang dengan sebuah coretan ala kadarnya. Semoga dapat bermanfaat dan menambah semangat berkarya kita.
Sejak awal, braille sangat membantu difabel visual dalam mengakses informasi dan berkomunikasi secara konvesional. Kemajuan yang mereka nikmati saat ini, tidak terlepas dari peranan besar tulisan timbul ini. Jujur saya akui, tanpa menekuni braille, saya tidak bisa sebaik sekarang mengakses informasi dan berkomunikasi secara digital. Sehingga saya masih memanfaatkan metode braille di momen tertentu.
Braille adalah lentera paling awal kebangkitan disabilitas visual dari gulitanya kebodohan. Braille adalah anak kunci untuk membuka gerbang dunia wawasan yang bersifat relevan, seiring dinamisnya zaman. Tulisan ini memang awalnya sukar dipelajari. Terlebih bagi mereka yang baru berkenalan dengan vase disabilitas visual di usia berpikir.
Tetapi jika ada motivasi yang kokoh dan konsisten merutinkan, tidak mustahil bisa dikuasai. Paling cepat, braille dapat dikuasai dalam satu bulan untuk rata-rata orang. Bisa lebih daripada itu apabila dikaruniai intelegensia, tekad hati, dan ketekunan belajar yang istimewa.
Dahulu sekali, braille masih sedikit yang mengenal, apalagi memahami. Namun seiring bergulirnya sejarah, mulai digerakan secara masif tulisan timbul ini dimana-mana. Guna mencerahkan disabilitas visual dalam segala hal, seperti referensi bacaan, menulis, komunikasi dengan surat braille, simbol pemandu di tempat umum, dan masih banyak lagi.
Untuk komunikasi, braille biasanya terjadi saat satu individu hendak berinteraksi dengan individu lain. Antar keduanya terbentang jarak yang jauh. Sehingga surat braille menjembatani komunikasi kedua individu, meskipun harus sabar menanti dalam jangka waktu yang relatif lama.
Dalam bidang literatur, ketersediaan referensi dalam format cetak braille masih sangat terbatas dan hanya kalangan tertentu yang memproduksi. Sehingga belum merata ke seluruh wilayah yang bisa mengakses terhadap huruf timbul ini. Minimnya literatur braille disebabkan sedikitnya anggaran, baik pihak negeri maupun swasta untuk memproduksi secara masif.
Dalam hal ini, sungguh ironis sekali. Lebih-lebih sekarang, sebab majunya teknologi, minat literasi braille semakin menurun hari demi hari. Selayaknyalah menjadi keprihatinan bersama dan harusnya menjelma sebagai motivasi primer bagi kita untuk melestarikannya ke dalam bentuk yang inovatif sehingga tidak musnah secara sia-sia.
Paling awal, pastinya dari kesadaran diri kita masing-masing. Kesadaran akan menumbuhkan tekad seorang yang konservatif atau orang yang giat melestarikan warisan peninggalan para pendahulu, inovatif yang berarti giat mengembangkan ide-ide baru yang segar, dan dari semua itu akan maksimal dilandasi konsistensi seorang pecinta ilmu.
Begitu pentingnya braille seakan-akan hidup kita sendiri. Karena lagi-lagi, telah tertulis di paragraf depan.
Selain daripada hal-hal yang merawankan tersebut, sisi baiknya adalah inspirasi braille yang semakin masif dikembangkan meski masih terbatas. Tulisan braille, paling mudah bisa ditemukan dalam salah satu fitu pembaca layar Talkback di Android, yaitu sebagai alat ketik virtual dengan metode tulisan braille.
Sebuah hal yang masih dapat diharapkan, bahwa braille tidak akan punah, jika kita sendiri pandai menerapkan ke dalam bentuk-bentuk yang kreatif. Peran pengajar patut diperhatikan juga. Dengan semakin banyaknya sumber daya manusia yang menguasai braille, maka tidak hanya provesi, hal lain pun dapat dilakukan.
Menyimak data-data yang tersaji di banyak lembaga, braille mulai teralihkan dengan teknologi yang lebih praktis. Tidak dapat diingkari, dengan teknologi, segalanya akan efektif dan efesien. Namun lagi-lagi, braille tidaklah pantas kita lupakan begitu saja.
Pada akhirnya, hal terbaik yang bisa dilakukan, adalah tetap pelajari braille, lestarikan dengan mengajarkan pada yang lain dengan metode yang kreatif, dan menginovasikannya dalam bermacam aspek. Sehingga braille tidak ubahnya listrik dan air, menjadi kebutuhan tiap disabilitas netra.
Sekian, diakhirinya tulisan receh ini, tentunya bersama harapan. Bahwa braille tetap relevan dengan kehendak zaman dan tetap menjadi identitas seorang difabel netra.
Bantul DIY, Rabu, 25 November 2020.